![]() |
Poster Hastha Laku. (Foto: Solo Bersimfoni) |
Kontribusi : Wulan Eka Handayani
MAYANTARA- Media sosial menjadi media komunikasi digital yang populer digunakan masyarakat Indonesia. We are Social dalam laporannya bertajuk “Digital 2025 Indonesia” menyatakan sejumlah 143 juta identitas penduduk Indonesia terdaftar menggunakan media sosial. Rata-rata pengguna media sosial di Indonesia menghabiskan waktu selama 3 jam 8 menit setiap hari untuk mengakses media sosial.
Media sosial digunakan untuk mengisi waktu luang, berkomunikasi dengan teman dan keluarga, serta mengikuti perkembangan peristiwa. Selain itu, media sosial bisa untuk mencari informasi aktivitas serta informasi tentang belanja. Konten berupa berita, info keseharian, info produk, dapat dicari dengan mudah di media sosial,
Di media sosial, berbagai komunitas yang menghubungkan pengguna dalam koneksi baru banyak bertebaran. Pengguna leluasa membuat, berbagi, atau berdiskusi mengenai informasi, pesan, pengetahuan, ide maupun opini yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Aktivitas dan perilaku secara online dapat terjalin di media sosial melalui percakapan kata-kata, gambar, video, maupun audio.
Sebagai dampaknya, selain membahas perihal positif, media sosial turut menjadi platform yang memuat dan menyebarluaskan kabar hoaks yang mengandung unsur radikal, ekstrem, dan intoleran. Anak muda dengan rentang umur 17-24 tahun menjadi target utama penyebaran paham ekstrimisme dan terorisme. Hal tersebut karena jiwa yang masih muda, energik, mencari jati diri, dan memiliki semangat tinggi (Firmansyah,2019). Dengan fase tersebut, generasi muda lebih mudah dipengaruhi.
Generasi muda memiliki indeks potensi radikalisasi tertinggi jika dibandingkan penggolongan generasi lainnya, yakni sebanyak 12,7% (Rahadi, 2020). Fenomena ini didorong warganet dari generasi muda yang aktif mencari konten keagamaan di internet.
Maarif Institute menemukan paham radikalisme yang ditanamkan melalui nilai-nilai agama cenderung kuat menyasar siswa SMA dan MA di Surakarta, Cirebon, Padang, dan Sukabumi. Kota Surakarta sendiri dapat disebut sebagai wilayah yang seringkali dianggap menjadi barometer kehidupan kaum radikal di Indonesia (Muslim dkk, 2018). Sejarah menunjukkan bahwa setiap huru-hara yang terjadi di berbagai daerah di Indonesia, selalu bersinggungan dengan Kota Solo (Hartanto, 2021).
Menghadapi tantangan era digital, generasi muda sebagai penerus bangsa memerlukan pengendalian kuat berupa pendidikan karakter berbasis kearifan lokal. Sebagai tameng terhadap nilai-nilai budaya yang menyebabkan degradasi moral, radikalisme misalnya. Salah satu organisasi masyarakat yang fokus pada pengembangan generasi muda dengan pendekatan budaya lokal yakni Solo Bersimfoni.
Karakter generasi muda dibangun melalui delapan perilaku atau Hasthalaku yang diadaptasi dari falsafah budaya Jawa. Nilai Hasthalaku yang dibangun meliputi : tepa selira (tenggang rasa), lembah manah (rendah hati), andhap ashor (berbudi luhur), grapyak semanak (ramah tamah). Nilai-nilai lainnya yakni : gotong royong (saling membantu), guyub rukun (kerukunan), ewuh pakewuh (saling menghormati), dan pangerten (saling menghargai).
Nilai Hasthalaku sejalan dengan ajaran Hastha Brata dalam naskah Jawa Kuno “Kakawin Ramayana” (Alsuci dkk, 2021). Kala itu, Hastha Brata menjadi delapan perilaku yang harus dimiliki pemimpin dalam dunia pewayangan, yang selanjutnya diajarkan oleh raja-raja jaman dahulu.
Nilai-nilai luhur budaya Jawa berbasis kearifan lokal kembali dihidupkan, yang kini mulai tergerus zaman khususnya pada kalangan generasi muda di Solo. Karakter identitas lokal pada generasi muda ditonjolkan di tengah berbagai pengaruh nilai budaya negatif yang tersebar secara-global melalui media sosial. Tradisi dan nilai kearifan lokal dapat menjadi kekuatan yang menyokong kerangka pertahanan hidup yang berbangsa Indonesia di era digital saat ini.
Literasi digital pada media sosial dilakukan Solo Bersimfoni untuk mengedukasi generasi muda, mengantisipasi pengaruh informasi berunsur negatif yang tersebar di dalamnya, baik isu-isu radikalisme, ekstremisme, dan intoleransi.
Dengan adanya literasi digital, generasi muda diharapkan memiliki pegangan dalam menyusuri dunia digital dan dapat memilah informasi yang baik untuk dirinya. Konten berupa tulisan edukasi, seminar online, podcast, film pendek, hingga komik bertema Hastalaku, dicetuskan Solo Bersimfoni hingga kini.
Solo Bersimfoni telah mencipta 22 film pendek, 198 konten Instagram, 50 konten siniar, 4 buku antologi cerpen, 5 buku antologi artikel, dan 6 buku antologi puisi.
Referensi :
Alsuci, E.M. dkk. (2021). Jurnal Pendidikan Karakter. Peran Solo Bersimfoni dalam Implementasi Pendidikan Karakter Generasi Z Di Kota Surakarta. 12(2), 197-208
Firmansyah, T. (2019). BIN: Usia 17-24 tahun rentan terpapar radikalisme. Diakses dari https://nasional.-republika.co.id/berita/pw0hjn377/bin-usia-1724-tahun-rentan-terpapar-radikalisme pada 24 Agustus 2025
Hartanto. (2021). Solo Itu Barometer Nasional. Kalau Solo Aman, Negara Aman. Diakses dari https://solo.suaramerdeka.com/solo-raya/pr-05386924/solo-itu-barometer-nasional-kalau-solo-aman-negara-aman pada 24 Agustus 2025
Hootsuite (We are Social). (2025). Digital 2025 Indonesia. Diakses dari https://andi.link/hootsuite-we-are-social-data-digital-indonesia-2025/ pada 2 September 2025
Muslim, A. A. dkk. (2018). Menjaga Benteng Kebhinekaan di Sekolah Studi Kebijakan OSIS di Kota Padang, Kab. Cirebon, Kab. Sukabumi, Kota Surakarta, Kota Denpasar, dan Kota Tomohon. Jakarta Selatan: MAARIF Institute for Culture and Humanity
Rahadi, F. (2020). Survei: Potensi Radikalisme di Indonesia Menurun. Diakses dari https://www.republika.co.id/berita/qlmk6y291/survei-potensi-radika-lisme-di-indonesia-menurun pada 24 Agustus 2025