LPM Mayantara

LPM Mayantara

Merenda Kisah Kaum Boro, Buruh Kerah Putih Wonogiri

Ilustrasi perantau menaiki kendaraan bus Wonogiri. (Wulan Eka Handayani/ LPM Mayantara)


Reporter : Wulan Eka Handayani

MAYANTARA- Mendapatkan pekerjaan di Wonogiri untuk lulusan perguruan tinggi bak mencari jarum dalam jerami. Bagas Tri Atmaja, salah satunya. Penduduk berusia 27 tahun asal Eromoko, Wonogiri ini bahkan belum pernah melamar pekerjaan di tanah kelahirannya. Musababnya, dia terhalang minimnya informasi dan kesempatan kerja untuknya. 

Kepada LPM Mayantara, ia mengisahkan perjalanannya dalam menggapai posisi kerjanya sekarang sebagai pegawai Badan Usaha Milik Negara (BUMN) di Jakarta. 

Selama berkuliah S-1 Ilmu Hukum di Universitas Malahayati, Lampung, ia mulai aktif di dunia akademik yang berhubungan dengan hukum, organisasi kemahasiswaan, dan diskusi dengan lembaga pemerintahan. 

“Pernah ada agenda diskusi bersama dengan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) Komisi 10 dan Badan Siber Sandi Negara,” katanya. 

Melalui dunia perkuliahan, Bagas mempelajari keterampilan cara berkomunikasi dan berpikir kritis dalam memandang permasalahan hukum di Indonesia. Ia juga belajar membuat dokumen perjanjian hukum sesuai kaidah selama kuliah. Logika berpikir secara terstruktur mulai diterapkannya karena dalam dunia hukum melibatkan berbagai aspek. 

“Setelah lulus tidak perlu waktu lama untuk mencari pekerjaan. Dengan dibekali koneksi dan relasi, saya bekerja sebagai sekretaris rektor di salah satu perguruan tinggi,” imbuhnya.

Kini, ia bekerja sebagai pegawai staf legal kontrak di salah satu BUMN di Jakarta melalui pihak ketiga. Dengan budaya kerja kompetitif di ibu kota, ia menjalani pekerjaannya seputar membuat kontrak perjanjian dan melakukan review perjanjian. 

Meski bekerja di tanah rantau, Bagas mengaku puas dengan gaji yang diperolehnya. Upah Minimum Provinsi (UMP) Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta sekitar Rp 5 juta. Sementara pengeluaran bulanannya untuk hidup mandiri berkisar Rp 3-4 juta. 

“Tantangan bekerja merantau di luar Wonogiri itu persaingannya sangat ketat. Juga harus memprioritaskan penampilan diri, kemampuan dan tanggung jawab,” katanya. 

Ia memilih bekerja di luar daerah karena perusahaan di Wonogiri masih minim yang merekrut lulusan S1 Ilmu Hukum. Peluang yang terbuka lebar untuk dirinya berkarir di Wonogiri masih berkutat pada pekerjaaan Aparatur Sipil Negara (ASN) dan pegawai bank milik republik. 

“Peluang di Wonogiri terbatas, dan seleksinya ketat,” imbuhnya. 

Bagas menilai minimnya informasi dan portal kerja di Wonogiri membuat banyak lulusan perguruan tinggi seperti dirinya tak memiliki pilihan untuk berkarir di Wonogiri. Kualifikasi pendidikannya menjadi staf kantor, tak mau dikorbankan untuk menjadi staf operasional yang membutuhkan kualifikasi pendidikan di bawahnya. 

Ia menilai perlu adanya kegiatan industrial yang menampung banyak lapangan pekerjaan dengan memperhatikan kondisi alam serta kontur masyarakat Wonogiri. 

“Namun tetap menyesuaikan persyaratan peraturan perundangan-undangan dan kawasan khusus industri Wonogiri, sehingga dapat terpusat,” katanya. 

Tak relevannya lapangan kerja di Wonogiri dengan kualifikasi pendidikan dan keterampilan juga dialami oleh Alifah Tria Ulfah. Warga Wuryantoro, Wonogiri alumnus Universitas Islam Negeri (UIN) Raden Mas Said Surakarta jurusan Manajemen Bisnis Syariah tersebut juga pernah mengalami masa perjuangan dalam melamar kerja. Dari 10 lembaga yang ia lamar, tak ada satupun yang berlokasi di Wonogiri. 

“Belum menemukan tempat kerja yang cocok di Wonogiri,” katanya. 

Kini ia bekerja di bidang keuangan pada lembaga sosial di Sukoharjo. Dengan gaji Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) Sukoharjo sekitar Rp 2 jutaan, Alifah mengaku mengeluarkan biaya hidup sekitar Rp 1,5 juta tiap bulannya.

Bekerja di Sukoharjo membuatnya masih bisa berkomunikasi secara daring maupun luring dengan keluarga, sebab sering pulang ke rumah. Tak ada diskriminasi yang diperolehnya di tempat kerja. Pekerjaannya pun jauh dari stres, sebab ia paham dan tinggal menerapkan ilmu tentang keuangan yang diperlajarinya selama kuliah. 

“Dengan tantangan harus berani mencoba hal baru, bersyukur kerja di sini sebab akses lokasi kerja strategis,” ungkapnya. 

Pascasarjana Lebih Sulit Cari Kerja

Bukan hanya lulusan S1, lulusan S2 lebih sulit lagi mendapat kerja di Wonogiri. Dennys Pradita, putra daerah Wonogiri asal Giriwoyo salah satunya. 

Setelah lulus dari S2 jurusan Sejarah di Universitas Gadjah Mada, ia pernah melamar sebagai dosen di salah satu kampus di Wonogiri. Namun hingga kini tak ada jawaban dari pihak perekrut. 

Lelaki berusia 32 tahun ini sempat kesulitan mendapat pekerjaan sebab lulus di era awal pandemi Covid-19. 

“Mencoba kerja freelance selama masa pandemi serta menyebar berbagai lamaran pekerjaan,” ujarnya. 

Pernah diundang beberapa kali wawancara kerja dan ada yang lolos hingga tahap akhir namun gagal dengan alasan yang tidak diketahui. Padahal ia mengetahui bahwa dirinya masuk di peringkat yang dibutuhkan. Baru enam bulan setelah lulus, Dennys berhasil lolos seleksi kerja. 

Pekerjaan pertamanya yakni menjadi dosen tetap di yayasan swasta di Sumbawa, Nusa Tenggara Barat. Faktor jarak, budaya, fasilitas dan cuaca menjadi tantangan tersendiri baginya. Fasilitas pendidikan di daerah yang masih sangat minim, minat belajar juga belum terbangun. 

Saat masih awal di Sumbawa ia mendapat tempat tinggal dan sepeda motor. Rumah tinggal berada di ibu kota kabupaten, sehingga akses mencari kebutuhan lebih mudah. Tantangannya jarak ke kampus untuk mengajar agak jauh. 

“Selama di Sumbawa, motivasi kerja bukan gaji, namun pengalaman serta mencari sumber untuk penulisan serta eksplorasi daerah baru,” katanya. 

Merantau di luar pulau membuatnya mengalami cerita jatuh bangun. Pengalaman paling menyedihkan yang ia alami saat ia sakit beberapa hari. Jauh dari orang tua membuatnya dirawat oleh temannya. Bertepatan saat itu, ia akan melangsungkan pernikahan dalam beberapa hari. 

Mobilisasi mudik juga menjadi tantangan tersendiri. Pada saat akan pulang menjelang pernihakahannya, seluruh penerbangan dari Sumbawa dan Lombok ditutup karena pandemi. Ia terpaksa harus melakukan perjalanan naik bus. Perjalanan pertama dari Sumbawa menuju Lombok dimulai dari tengah malam.  Sampai Lombok sudah jam 9 pagi, lantas mencari bus arah Surabaya atau Jakarta. 

Sialnya ia terkena bujuk rayu calo terminal. Saat masuk ke bus, bus tidak layak jalan.  Hanya ada 10 nomor kursi di bus tersebut. Lorong bus penuh diisi beras. Alhasil Dennys sepanjang perjalanan duduk di smoking room dengan dingklik atau di atas beras. 

Perjuangannya membangun karier ternyata berbuah manis. Dia lolos tes Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) di Universitas Jambi, enam bulan kemudian. Dengan gaji sekitar Rp 5 juta, ia dapat menganggarkan dana untuk mudik. 

Paling tidak setahun dua kali ia menyempatkan diri untuk mudik, karena ia begitu merindukan rumah dan masakan rumahan. 

“Lulusan (S2 dari) Wonogiri memiliki daya saing di luar, namun entah kenapa di Wonogiri seperti terbuang. Sudah banyak orang kelahiran Wonogiri yang besar dan berpengaruh, tapi di Wonogiri seperti tak ada gaungnya,” ungkap Dennys.


Alasan Kaum Boro Pilih Merantau

Wonogiri, kabupaten seluas 1.904,32 km² di penghujung selatan Jawa Tengah yang berbatasan dengan Samudera Hindia telah lama dikenal sebagai wilayah pemasok Kaum Boro atau kaum perantau.  Kata “Boro” berasal dari singkatan ngalemboro, artinya mengembara. Perantau dari Wonogiri pergi untuk mencari nafkah di daerah lain 

Dengan penduduk 1,057 juta jiwa, sejumlah 35% di antaranya merupakan perantau. Dilansir dari laman Humas Wonogiri, tingginya angka perantau disebabkan karena Wonogiri masih berada pada tingkat ekonomi rendah. Dengan infrastruktur dan sumber daya ekonomi yang minim.  

Siti Zunariyah atau akrab disapa Yuyun, sosiolog Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta memaparkan bahwa tren Kaum Boro di Wonogiri telah ada sejak tahun 1970-an. Kebanyakan perantau saat itu menuju kota-kota besar seperti Jakarta dan sekitarnya untuk berdagang, misalnya bakso. 

Secara struktural, Kabupaten Wonogiri merupakan daerah pertanian. Lapangan kerja di Wonogiri didominasi bidang pertanian, dengan pekerjanya kebanyakan merupakan lulusan Sekolah Dasar (SD). 

Penduduk dengan tingkat pendidikan menengah banyak bekerja di industri manufaktur, seperti tenaga produksi di pabrik garmen yang tersebar di beberapa kecamatan di Wonogiri.  

Di “Kota Gaplek” sendiri, setidaknya ada tiga pabrik garmen besar yakni PT Nesia Pan Pacific Clothing, PT Top And Top Aparrel, PT Liebra Permana. Secara kumulatiff, ketiagnya menyerap tenaga kerja hingga 10.000-an. 

Di satu sisi, sektor pertanian dan industri di Wonogiri tidak membutuhkan kualifikasi tenaga kerja dengan lulusan perguruan tinggi. Kebanyakan membutuhkan kualifikasi lulusan Sekolah Menengah Atas (SMA) atau Sekolah Menengah Kejuruan (SMK).

“Penciptaan lapangan kerja di Wonogiri untuk sektor formal masih terbatas. Masih didominasi oleh sektor informal yang tak menyerap lulusan perguruan tinggi secara optimal,” ungkap Yuyun. 

Ia menambahkan lulusan perguruan tinggi, terutama yang lulusan baru atau fresh graduated memilih mencari pengalaman kerja di luar daerah karena di Wonogiri tak memperoleh kesempatan di daerah asalnya. Pengalaman kerja menjadi salah satu syarat yang dibutuhkan perusahaan saat ini. Hal inilah yang mendorong kenapa lulusan perguruan tinggi banyak yang merantau.

Di samping itu, UMK Wonogiri cukup rendah. Batas upah minimum di Wonogiri bahkan menempatu kedua terbawah se-Indonesia yakni sekitar Rp 2 jutaan. 

“Angka sekian tidak memenuhi ekspektasi standar pendapatan gaji dengan kualifikasi lulusan perguruan tinggi agar hidup layak, sekitar Rp 3 juta,” katanya. 

Kota-kota besar, misalnya Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi (Jabodetabek) menawarkan gaji dengan angka lebih tinggi daripada UMK Wonogiri. Terkait kualifikasi, para lulusan perguruan tinggi merasa kriteria lowongan pekerjaan dan gaji di Wonogiri tak relevan dengan keterampilan yang dimiliki

Secara kultural, penduduk yang mengenyam pendidikan tinggi memiliki kemauan mobilitas sosial yang lebih tinggi. Mereka memiliki harapan akan penghidupan yang lebih baik dari generasi keluarga sebelumnya. 

“Harapannya memiliki tingkat status ekonomi dan sosial di masyarakat. Cenderung memiliki pekerjaan dengan gengsi dan penghasilan yang tinggi,” kata Yuyun.

Jika harapan itu tak berbalas, para tenaga kerja lulusan perguruan tinggi akan mencari tempat kerja di tempat lain. Tak ayal migrasi kerja atau urbanisasi menjadi pilihan lumrah yang rasional. 

“Status sosial yang ditunjukkan saat mudik setahun sekali pada tetangga menjadi faktor yang tidak bisa dipungkiri,” katanya.

Banyaknya perantau lulusan perguruan tinggi asal Wonogiri juga didorong oleh minimnya penyerapan tenaga kerja. Joko Pramono Kepala Bidang Pelatihan Produktivitas Penempatan Tenaga Kerja dan Transmigrasi Dinas Tenaga Kerja dan Perindustrian (Disnaker) Kabupaten Wonogiri mengakui, penyerapan angkatan kerja untuk lulusan perguruan tinggi masih relatif kecil. 

“Penyerapan tenaga kerja di Wonogiri 7.000-an tiap tahunnya. Untuk lulusan D1-S1  rata-rata baru 200-an,” katanya.

Angka penyerapan tersebut berhubungan dengan adanya selisih antara lowongan kerja dan angkatan kerja pada penduduk lulusan perguruan tinggi. Lowongan pekerjaan yang terdata dari 2023 hingga pertengahan 2025 untuk pendidikan D3/S1 di angka 227, sementara angkatan kerja untuk tingkat pendidikan tersebut sejumlah 96.916 penduduk. 

“Jumlah lowongan kerja di Wonogiri sedikit untuk lulusan perguruan tinggi. Di tahun 2023 dan 2024 rata-rata di bawah 100  lowongan terdaftar,” imbuhnya. 


Upaya Disnaker 

Joko memaparkan bahwa Disnaker Kabupaten Wonogiri memiliki peran sebagai pihak perantara bagi pekerja dan pemberi kerja (perusahaan). Disnaker menghubungkan pekerja dari Wonogiri dengan berbagai perusahaan lokal, regional, nasional, maupun internasional. Meski demikian, pekerja kerah putih dari Wonogiri banyak yang menjadi Kaum Boro sebab minimnya lapangan kerja.  

“Menjadi koreksi bagi pemerintah untuk memfasilitasi penduduk dengan kemampuan kerja terlepas memiliki ijazah perguruan tinggi maupun pendidikan menengah,” katanya. 

Pemerintah sebagai fasilitator menurut Joko tak memiliki kapasitas dalam mengendalikan kemauan masyarakat untuk merantau di tengah minimnya investor padat modal dan infrastruktur di Wonogiri. 

Joko menilai secara kultural, masalah lain yang dihadapi lulusan perguruan tinggi dari luar maupun dalam Wonogiri terkadang belum memiliki kesesuaian kemampuan dengan kebutuhan lapangan kerja di pedesaan. 

“Sekalinya dibutuhkan, kadang lulusan perguruan tinggi tak menguasai kemampuan tersebut, misalnya skill teknologi dan informasi, “ungkapnya. 

Putra-putri daerah yang berhasil menamatkan perguruan tinggi pada akhirnya memilih ke luar kota yang menawarkan peluang kerja di bidang yang lebih luas. Tidak balik ke Wonogiri dan akhirnya berdikari atau mandiri di luar daerah. 

Sebenarnya buruh kerah putih yang menjadi Kaum Boro turut mempengaruhi Indeks Pembanginan Masyarakat (IPM), terkait tingkat pendidikan dan kemampuan kerja. 

“Daerah rugi juga, angka IPM di Wonogiri terendah kedua di Solo Raya,” katanya.  

Disnaker Wonogiri menyediakan pelatihan kerja secara luring melalui Balai Latihan Kerja (BLK). Ada juga pelatihan daring atau perpaduan melalui aplikasi SkillGrab yang baru diluncurkan Juni 2025. 

Job fair digelar Disnaker setahun sekali di bulan Mei dalam skala besar. Sebab menjadi bulan kelulusan siswa SMA/SMK, juga memperingati hari jadi Wonogiri.

“Untuk gerakan akar rumput ke sekolah dilakukan sesuai kerja sama, job fair juga dibuka di depan kantor Disnaker saat car free day (CFD),” katanya. 


Dinamika Regulasi

Yuyun menilai Pemerintah Kabupaten Wonogiri cenderung memiliki respon cepat untuk memberikan perlindungan mendasar untuk tenaga kerja dan keluarga terhadap resiko sosial dan ekonomi, menciptakan rasa aman, mendorong produktivitas tenaga kerja. Peraturan Bupati No 41 Tahun 2023 menjadi peraturan terbaru yang diharapkan mampu untuk melindungi dan menjamin tenaga kerja. 

Namun, dinamika praktik perundangan menunjukkan munculnya masalah pada minimnya literasi pekerja terhadap hak-hak mereka. 

“Tingkat kepatuhan pemberi kerja informal terhadap tenaga kerja cenderung rendah. Ditunjukkan dengan minimnya serikat pekerja yang dibentuk di daerah,” katanya.

Kebijakan yang dibentuk selama ini cenderung administratif, belum substantif. Pemerintah perlu melibatkan partisipasi pekerja untuk membentuk perundangan. Misalnya dengan menggandeng serikat kerja atau komunitas kerja lokal untuk melakukan advokasi ketenagakerjaan. 

Yuyun menyatakan bahwa perlu bagi pemerintah Kabupaten Wonogiri untuk memberikan insentif pada pemberi kerja yang taat perundangan, serta menindak tegas dengan pemberian hukuman bagi pelanggarnya. 

“Pendidikan vokasi dan pelatihan tenaga kerja perlu ditingkatkan untuk memperkuat kualitas dan kapasitas tenaga kerja dalam jangka waktu panjang,” katanya,

Ia menambahkan Disnaker perlu meningkatkan kebijakan tingkat makro dengan revitalisasi kurikulum perguruan tinggi yang adaptif dengan kebutuhan lokal dan global. Sebab kurikulum saat ini  belum beradaptasi dengan kebutuhan khas daerah. 

Kerja sama antara kampus dengan sektor industri juga perlu ditingkatkan. Misalnya meningkatkan program magang kerja yang membuat perusahaan tertarik untuk merekrut lulusan perguruan tinggi sebagai tenaga kerja. Lapangan kerja untuk lulusan perguruan tinggi, termasuk untuk lulusan baru, juga perlu ditingkatkan oleh pemerintah daerah untuk mengurangi laju urbanisasi atau migrasi penduduk lokal. 

Yuyun paham betul, bukan pekerjaan mudah bagi Disnaker untuk melakukan kebijakan tersebut. Realitanya Wonogiri masih minim lapangan kerja untuk lulusan perguruan tinggi. Diperlukan membangun kebanggan terhadap daerah, juga keberdayaan dan potensi lulusan perguruan tinggi. Misalnya pelatihan atau inkubasi kewirausahaan.

Disnaker dan berbagai pihak lain dapat mulai menciptakan lapangan pekerjaan yang relevan dengan lulusan perguruan tinggi. Ditambah dengan memetakan lulusan perguruan tinggi di Wonogiri, mendorong  investasi di sektor teknologi, kreatif dan keprofesionalan. 

Pemerintah daerah juga dapat memberikan insentif pajak bagi perusahaan yang mempekerjakan tenaga kerja lokal yang terdidik. Membangun start up di bidang inovasi juga dinilai Yuyun dapat menyalurkan talenta lokal.

“Wonogiri memiliki sumber daya alam luar biasa, perlu didorong agar menjadi talenta muda dapat berkontribusi untuk daerah,” katanya. 

Pemberian insentif oleh pemerintah dapat menjadi langkah alternatif agar lulusan perguruan tinggi yang membangun daerah atau berwirausaha lebih memilih berkarya di Wonogiri. 

Wonogiri dengan wilayah yang luas dan potensi sumber daya alam yang berlimpah, perlu dipetakan dan dikembangkan sektor unggulan daerah. Misalnya pariwisata berbasis budaya, industri kreatif, pertanian modern. Koneksi antara lulusan perguruan tinggi dengan peluang kerja lokal perlu difasilitasi secara digital agar menyesuaikan perkembangan zaman. (***)


Artikel ini didukung oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Surakarta.