![]() |
Ilustrasi hoaks. (Tim Desain LPM Mayantara) |
Reporter : Dian Regina Cahyani
MAYANTARA– Pada era digital sekarang ini, penyebaran informasi berita
bohong atau hoaks semakin merajalela di berbagai daerah tidak terkecuali Kota
Surakarta.
Namun di balik itu, upaya redaksi media massa dan para jurnalis terus
berjuang membendung arus disinformasi dengan strategi verifikasi ketat dan
peningkatan literasi digital masyarakat.
Adalah Candra Septian Bantara, wartawan Solopos itu mengungkapkan bahwa
kunci utama dalam memastikan keakuratan berita adalah verifikasi multi sumber.
"Jika ada isu apa pun, baik ringan maupun berat, kami tidak akan
pernah mengambil informasi dari satu sumber saja. Kami akan mengumpulkan
keterangan dari berbagai pihak terkait, seperti dalam kasus dugaan bunuh diri
mahasiswi UNS yang melibatkan kampus, tim SAR, dan psikolog," jelas
Candra.
Pendekatan ini secara efektif mencegah penyebaran informasi yang belum
terkonfirmasi, terutama yang berasal dari media sosial.
Menurut Candra, permasalahan yang terjadi ialah tidak ada Standar Operasional
Prosedur (SOP) khusus yang dibuat redaksi untuk menangkal hoaks, melainkan
berpegang teguh pada Kode Etik Jurnalistik (KEJ) yang ditetapkan Dewan Pers.
"Seorang jurnalis sudah memiliki SOP sendiri, yaitu Kode Etik
Jurnalistik yang terdiri dari 11 pasal," terang Candra.
Candra sendiri mengungkapkan bahwa Kode Etik Jurnalistik (KEJ) merupakan
“harga mati” dalam dunia jurnalisme.
“Hal tersebut dapat terjadi jika kami tidak bisa menyajikan informasi
secara baik dan benar, audiens akan menilainya sebagai berita dengan kualitas
buruk. Tentu saja profesionalisme dan objektivitas menjadi kunci, karena sekali
saja media menampilkan berita tidak berimbang, dampaknya bisa luar biasa,” tambahnya.
Dalam menyajikan informasi, redaksi berupaya agar berita tidak hanya
akurat tetapi juga menarik dan mudah dipahami. Candra menjelaskan bahwa ia menghindari kesan
provokatif atau diskriminatif.
"Saya sangat menghindari judul yang seksis atau diskriminatif, misalnya
penggunaan kata "meninggal" sebagai ganti "tewas" juga
menjadi bagian dari upaya penyempurnaan dan pengolahan dalam memilih diksi,”
ungkap alumnus UNS ini.
Senada dengan Candra, Faridha Trisnaningtyas jurnalis kantor media GenPi menambahkan
bahwa sebagian besar media memiliki kanal cek fakta khusus untuk menanggulangi
hoaks yang sedang berkembang.
Ia mencontohkan bagaimana di Surakarta, hoaks seringkali berpusat pada
tokoh politik, terutama yang berkaitan dengan Joko Widodo dan keluarganya.
"Ketika Bapak Jokowi mengalami
masalah kulit karena alergi, hoaks yang beredar begitu mengerikan. Banyak
spekulasi tak berdasar muncul, padahal faktanya adalah masalah kulit biasa,"
ungkap Faridha.
Ini menunjukkan bagaimana isu-isu personal tokoh publik bisa dengan mudah
dipelintir menjadi hoaks.
Selain itu, dia juga menyoroti pentingnya liputan langsung ke lapangan
oleh reporter.
"Meskipun media sosial heboh, kami perlu datang langsung dan
wawancara untuk membuat berita yang pasti," tegas dia sembari mengingatkan
agar informasi sensitif, seperti catatan psikologis, tidak dirilis untuk
menjaga privasi dan menghindari kegaduhan publik.
Clickbait, Kedewasaan Audiens, dan Kebijaksanaan Pengguna Media Sosial
Fenomena potongan video pendek atau informasi yang tidak lengkap/rancu di
media sosial juga menjadi perhatian.
Faridha mengingatkan bahwa hal tersebut bisa menjadi pemicu hoaks. Ia juga
menyoroti keberadaan buzzer yang dapat menyebarkan informasi tidak
valid, serta kerentanan generasi baby boomers terhadap hoaks
dibandingkan generasi milenial dan Z yang lebih cakap dalam dunia digital.
Mengenai clickbait atau “umpan klik” Faridha mengamati bahwa tren hal tersebut
tidak sekuat dulu. Masyarakat kini lebih menyukai judul yang relevan dan
memberikan kronologi jelas.
Grafik temuan isu hoaks selama 2024. (Sumber: Kementrian Komunikasi Digital dan Informasi)
Ia juga menyoroti penggunaan diksi yang tidak tepat, seperti kata
"persetubuhan" untuk kasus kekerasan seksual, yang dapat menimbulkan
kesalahpahaman.
"Jurnalis harus teliti dan detail agar tidak menjadi 'pemerkosa
kedua' bagi korban melalui narasi berita," tegasnya.
Faridha menyebutkan berbagai organisasi profesi wartawan seperti Persatuan
Wartawan Indonesia (PWI), Aliansi Jurnalis Independen (AJI), dan Asosiasi Media
Siber Indonesia (AMSI) aktif memberikan pelatihan bulanan untuk meningkatkan
kemampuan jurnalis dalam mengenali dan menepis hoaks, termasuk melalui program fellowship.
"Pelatihan ini penting sebagai bekal jurnalis agar tidak termakan
hoaks dan misinformasi," ujarnya.
Belum ada data spesifik mengenai presentasi tingkat literasi digital
masyarakat, Namun Faridha melihat adanya pergeseran pola literasi.
"Dulu dalam mencari berita masyarakat merujuk ke media massa mainstream,
sekarang lebih banyak dari media sosial seperti akun @agenda.solo atau
@infocegatan.solo," jelasnya.
Lebih lanjut Faridha menambahan jika akun-akun tersebut seringkali belum mengedepankan
asas jurnalistik yang baik, sehingga informasi yang disajikan cenderung
terpotong-potong dan kurang detail.
Secara nasional, tingkat literasi digital Indonesia masih tergolong
rendah, yaitu sekitar 62%. Angka ini masih di bawah rata-rata negara-negara
ASEAN lainnya yang mencapai 70%.
Kiat Menangkal Hoaks
Candra dan Faridha juga memberikan kiat jitu untuk menangkal hoaks. Mereka
menekankan pentingnya kewaspadaan terhadap judul bombastis dan konten
provokatif sebagai tanda awal sebuah hoaks.
Keduanya menegaskan, langkah pertama adalah cek fakta dan verifikasi
sumber. Pastikan informasi berasal dari media kredibel, bukan tautan
mencurigakan atau nama media yang sudah dimodifikasi.
"Selalu bandingkan informasi dari berbagai sumber terpercaya,
terutama dari media arus utama yang punya reputasi terjaga," ujar Candra.
Faridha menambahkan, jika sudah terbukti hoaks, masyarakat diimbau untuk
tidak menyebarkannya lagi.
"Mulailah dari diri sendiri dan keluarga untuk mengedukasi literasi
digital," serunya.
Ia menyoroti pentingnya kehati-hatian terhadap informasi yang beredar di
grup obrolan pesan singkat atau YouTube, agar tidak mudah percaya pada hal-hal
yang tidak bisa dipertanggungjawabkan.
Pentingnya literasi digital dan peran aktif jurnalis dalam memerangi hoaks
menjadi kunci utama untuk menciptakan ekosistem informasi yang sehat, baik di
Surakarta maupun di seluruh Indonesia.
‘Dengan menerapkan kiat-kiat ini, kita bisa bersama-sama membangun
masyarakat yang lebih cerdas dan kritis dalam menerima informasi,” pungkas
Faridha. ***